BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pancasila
merupakan dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Hal
ini tertuang dalam alinea keempat Undang – Undang Dasar tahun 1945. Nilai-
nilai dari Pancasila berasal dari akar budaya bangsa Indonesia yang luhur.
Sebagai suatu dasar Negara maka Pancasila senantiasa dijadikan landasan dalam
pengaturan kehidupan bernegara, yang berarti bahwa segala macam peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang diambil oleh para penyelenggara Negara
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Hal ini
menegaskan bahwa Pancasila merupakan suatu acuan yang dijadikan dasar dalam
bertindak oleh segenap bangsa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, maka
kita diwajibkan untuk mengaktualisasi berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan.
Maka, setelah banyak aspek memperbincangkan Pancasila sebagai dasar Negara,
sekarang Pancasila pun dijadikan bahan perbincangan sebagai perilaku yang
digunakan di dalam kampus. Di mana di dalam kampus tersebut akan terdidik
dengan kepemimpinan Pancasila. Baik dalam perilaku bergaul juga dalam proses
belajar mengajar di dalamnya. Serta molekul-molekul yang menjadi bagiannya.
Walaupun pada kenyataannya aktualisasi Pancasila dalam lingkungan kampus
tidak selalu sesuai seperti yang kita harapkan. Salah satu contohnya yakni
perbuatan mencontek yang banyak dilakukan oleh mahasiswa. Namun kita tetap
harus mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila sebaik mungkin yang dapat kita
lakukan.
Makalah ini dibuat agar kita senantiasa mencintai, menghayati, dan
mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari,
terutama di lingkungan kampus. Sehingga kelak saat kita terjun ke masyarakat
kita akan menjadi manusia Pancasila, yakni manusia yang selalu berpedoman teguh
pada Pancasila.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara khusus membahas
permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan
aktualisasi?
2.
Apa yang dimaksud dengan Tri
Dharma perguruan tinggi?
3.
Bagaimana cara mengaktualisasi
Pancasila di perguruan tinggi?
C. Landasan Teori
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapatkan bahan makalah yang berasal
dari 2 sumber. Sumber tersebut yaitu buku yang berjudul “Pendidikan Pancasila”
karya A.T Soegito,dkk dan dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi
dan sesungguhnya, hakikatnya. Di mana Pancasila memang sudah jelas berdiri
dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar
dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari
aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat
universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan
dalam setiap aspek dalam penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma-norma,
baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-norma moral yang harus
dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
1.
Aktualisasi Objektif
Aktualisasi Pancasila secara objektif yaitu melaksanakan
pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan
Negara antara lain: legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga
meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi, hukum
terutama dalam penjabaran kedalam Undang-Undang, garis-garis besar haluan
Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.
2.
Aktualisasi Subjektif
Aktualisasi Pancasila secara subjektif adalah aktualisasi Pancasila
pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup
Negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali
baik warga Negara biasa, aparat penyelenggara Negara, penguasa Negara, terutama
kalangan elit politik dalam kegiatan politik, maka dia perlu mawas diri agar
memiliki moral ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap
lapisan masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu
dan dapat terlihat dalam perilaku. Perpaduan ciri tersebut
di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang
merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman
dan harapan masyarakat.
B.
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan
tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah menara gading yang jauh dari
kepentingan masyarakat melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada
masyarakat. Perguruan tinggi diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1. Menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
2. Mengembangkan
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam rangka
mencapai tujuan tersebut, perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan yang
disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari :
1. Pendidikan
Merupakan
kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
menciptakan IPTEK dan seni.
2. Penelitian
Kegiatan
dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, model, atau
informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni.
3. Pengabdian
Kepada Masyarakat
Kegiatan
yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberi sumbangan demi kemajuan masyarakat.
C.
Penumbuhan Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir
ini di berbagai tempat timbul kerusuhan massa yang cenderung brutal dikarenakan
adanya kesenjangan sosial antara pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini
menimbulkan gejolak berupa gerakan pengacau keamanan bahkan tuntutan untuk
melepaskan diri misalnya Aceh dan Irian Barat. Apabila tidak segera diatasi
maka akan menyebabkan disintregrasi bangsa. Disini pula dikarenakan hubungan
social lainnya, kebebasan berkumpul sangat dibatasi, kesadaran pemeliharaan
lingkungan yang kurang, kurangnya kerjasama antar agama, kurangnya penyadaran
sosial, serta sentiment yang selalu
ditutup-tutupi dengan isi SARA. Yang justru menyebabkan meledaknya kerusuhan di
beberapa tempat.
Padahal para
pendiri bangsa telah mencontohkan pada kita bagaimana cara mencipatakan situasi
demokrasi melalui BPUPKI – PPKI dengan melakukan perdebatan dan pemufakatan
disaat-saat mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan saat proklamasi hingga pengesahan
UUD 1945 mereka tetap bersatu hingga Negara Republik Indonesia dapat
diwujudkan.
Persoalan
demokrasi bukan hanya masalah yang menyangkut pengaturan kekuasaan Negara,
melainkan juga terkait cara hidup antar kelompok masyarakat yang sangat
pluralis dimana persoalan-persoalan sosial dapat dipecahkan secara bersama.
Maka muncullah pemikiran kearah desentralisasi pemerintahan yang kurang lebih
sejalan dengan perkembangan masyarakat modern dan demokratis. Namun terjadinya
kerusuhan dibeberapa tempat, kekejaman bahkan pembunuhan antar masyarakat etnis
bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Sebab bagi bangsa Indonesia
keanekaragaman etnis, agama, adat istiadat, wilayah yang begitu luas yang
konsekuensi logisnya, pluralisme, visi dan aspirasi yang beraneka ragam harus
diterima dan dihormati. Yang menjadi perhatian kita adalah mengatasi pluralisme
dai kerawanan menjadi asset nasional. Cara mengatasinya yakni dengan
“Etika Pluralisme”, yakni etika yang mengajarkan sopan santun dalam sikap dan
mau menerima beda pendapat dalam musyawarah dan mufakat sebagai penjelmaan
demokrasi Pancasila. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa dapat
diciptakan dan menghindari disintregrasi bangsa. Sarana yang sangat strategis
yakni dengan pendidikan Pancasila. Untuk itulah maka revitalisasi nilai-nilai
Pancasila serta moral etika Pancasila harus terus-menerus dikembangkan.
D.
Tradisi Kebebasan Akademik,
Kebebasan Mimbar Akademik, Otonomi Akademik dan Peran Mahasiswa di
Masyarakat
1. Tradisi
Kebebasan Akademik
Sejak universitas pertama kali
berdiri di Bologna (Italia), paham kebebasan yang selama itu dipegang oleh
gereja mulai digulirkan pada Universitas. Semua pimpinan agama memegang
kekuasaan, mengambil keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat
melalui mimbar (excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih
dikendalikan oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari
tafsir agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir
(ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang jelas. Tidak
jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan (contra position
).
Dari apa yang telah dicapai oleh
para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad pertengahan dapat diamati suatu
gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai kebenaran :
a.
Bahwa masyarakat ilmiah perlu
dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi.
b.
Sikap avveroisme (kelompok
ilmiah nasionalis yang berusaha melepaskan diri dari gereja ) semakin jelas
dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin otonom dalam mencapai kebenaran.
c.
Otonomi perguruan tinggi berhubungan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kondisi itu bersifat conditio
sinequanon bagi kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala
pengertian tentang kebebasan kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian
yang setara bagi kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini
lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti
oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika
akan menempuh jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah
metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran, analisis,
dan simpulan.
2. Kebebasan
Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan
penyelenggaraan otonomi kampus bagi perkembangan ilmu pengetahuan muncul
istilah kebebasan mimbar akademik, yaitu proses pengembangan ilmu
lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik lebih
ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik) yang
dilakukan dalam laboratorium dan perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar
akdemik lebih ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan
ini dosen dan mahasiswa akan berada dalam suatu pola interese, yaitu berada
pada satu tatanan bahasa yang bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap
pada posisi pemegang mimbar (ex cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah
guru besar (professor). Ia memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena
telah bergelar doctor.
Suria Sumantri (1986: 27)
menyebut mahasiswa sebagai setengah ilmuwan,yaitu mahasiswa belum
memiliki kewibawaan penuh pemegang otoritas dalam kegiatan ilmu. Fungsi
mahasiswa menjadi cukup strategis dalam
kegiatan keilmuan yang mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan
teknologi. Pertama, pada proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa
merupakan pelaku muda (colega minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan
dari dosen (colega mayor). Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai
ilmuwan. Kedua, pada proses pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda
yang pada umumnya sedang mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini
mahasiswa sering kali memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk
saling memberi masukan.
3. Otonomi
Keilmuan
Ilmu yang berkembang tidak hanya
kerangaka pemikiran logis, melainkan telah teruji, sehingga dengan ilmu orang
akan bias menjelaskan gejala alam kemudian meramalkannya. Ilmu mempunyai obyek
kajian (ontologis), dan memiliki kemampuan untuk mencapai kebenaran
(epistemologi) serta kemampuan terkait dengan masyarakatnya (aksiologis). Ilmu
yang dapat berkembang pad prinsipnya karena kaidah moral, pertimbangan etis,
dan norma kerja profesinya.
Ilmu pengetahuan memang dapat
memperoleh otonomi dalam melakukan kegiatannya untuk mempelajari alam semesta,
tetapi masalah moral akan timbul manakala berkaitan dengan ilmu pengetahuan
itu. Ilmu pengetahuan memiliki 2 sisi kajian yaitu sisi kajian internal dan
eksternal. Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu hanya menggunakan
metode spesifik yang dimilikiuntuk dipraktekkan ilmuwan secara otonomi (Salim,
1994: 15). Sedang pada sisi kajian eksternal , ilmu akan berkaitan dengan bidang
IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideologi, politik,
ekonomi, social, budaya, rohani, pertahanan, dan keamanan).
Ilmu pengetahuan hanya memiliki
otonomi dalam sisi kajian internal (terbatas pada penerapan metodologinya untuk
mencapai kebenaran ilmiah). Ilmu pengetahuan selalu dituntut bagaimana dapat
memiliki kegunaan di masyarakatnya. Misalnya keberadaan ilmu kedokteran harus
mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat secara luas, seperti menciptakan
obat untuk mengatasi HIV, dll. Ilmu
sosial (politik, sosial, ekonomi, budaya, dll) harus mampu menciptakan dinamika dan intregitas bagi
masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial tidak mungkin berkembang
terlepas dari masyarakatnya, karena ilmu sosial adalah bagian dari gejala
perilaku masyarakat.
4. Peran
Mahasiswa di Masyarakat
Keterlibatan mahasiswa dalam
kegiatan masyarakat dapat dilakukan sejauh kegiatan itu memiliki relevansi
langsung dengan kematangan ilmu pengetahuan yang diminati. Keterlibatan
mahasiswa terhadap masalah sosial sebatas mahasiswa memiliki komitmen yang kuat
terhadap pengembangan tugas akademis. Sebagai contoh keterlibatan mahasiswa
dalam masalah politik, harus bersifat peningkat visi akademisnya, pengembangan
wawasan, pengayaan substansi dan kedewasaannya.
Peran mahasiswa di masyarakat:
1.
Mahasiswa sebagai pribadi yang
sedang belajar berproses “untuk menjadi” (ilmuwan) sehingga masih membutuhkan
bimbingan dan pembinaan akdemik yang intensif dari para dosen.
2.
Mahasiswa dapat berperan sebagai
perantara pembaharuan (agent of modernization) terutama membantu masyarakat
miskin yang masih tertinggal guna meningkatkan pendapatannya.
3.
Mahasiswa perlu belajar untuk dapat
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, laporan hasil kajian ilmiah, dan
hasil diskusi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam tataran bahasa indonesia
yang sederhana sehingga dapat diterima semua pihak.
4.
Tidak semua orang dalam masyarakat
dapat meraih peluang masuk kuliah di bangku perguruan tinggi. Peluang masuk
perguruan tinggi hanyalah bagi lulusan SMA yang memiliki motivasi dan dukungan
dana yang cukup. Pengadaan dana yang cukup besar itu membutuhkan bantuan
masyarakat yang secara langsung digunakan untuk pengadaan prasarana dan sarana
belajar.
E.
Memposisikan Kebebasan Akademik dan
Kebebasan Mimbar Akademik Secara Proporsional
Kesenjangan
antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin membesar karena para filsuf
yang tergabung dalam kelompok penganut averroisme terus bertahan pada
pendiriannya untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu bebas dari
ikatannya dengan keagamaan. Averroisme terus berkembang dan memunculkan
berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan
sebagai cabang ilmu makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang
otonom dan hal ini menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan-
universitas diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang
menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka muncullah istilah otonomi universitas,
yaitu otonomi kelembagaannya sebagai pengelola akademik ; dalam suasana itu
universitas merupakan tempat persemaian intelektual dan cultural dalam arti
luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi ilmu
selanjutnya juga dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya
perkembangan dan kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering
juga diakui sebagai otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan
pengajaran dan penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik.
Sejalan
dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan
akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan
mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk
melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara
sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab
seorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa
keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak
menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika,
melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak
selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.
Dari uraian di atas ini jelaslah kiranya bahwa sesungguhnya “kebebasan
ilmiah” (dalam arti otonomi ilmu atau otonomi ilmiah) lebih luas ruang
lingkupnya dibandingkan dengan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik
adalah sebagian yang lebih terbatas dalam ruang lingkup kebebasan akademik.
Di Indonesia
tradisi kebebasan (mimbar) akdemik mula-mula diberlakukan di
perguruan-perguruan tinggi yang pertama-tama didirikan yaitu Sekolah Tinggi
Teknik (Technische Hooge School) yang
didirikan di Bandung tahun 1920; di Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hooge School) yang didirikan di Jakarta tahun 1942; di
Sekolah Tinggi Kedokteran (Geeneskundidge
Hooge School) yang didirikan di Jakarta tahun 1927; di Fakultas
Kesusastraan dan Filsafah (Faculteit der
Letteren en Wijsbegeerte) yang didirikan di Jakarta tahun 1940; dan
Fakultas Pertanian (Faculteit der Land
bouw) yang didirikan di Jakarta tahun 1941.
F. Kampus
sebagai Kekuatan Moral Pengembangan Hukum dan HAM
Hukum,
Hak Asasi Manusia (HAM), dan demokrasi. Ketiganya sulit dilaksanakan karena
sering diinjak-injak bahkan dikebiri orang atau karena kita tidak mau dan tidak
mampu melaksanakan dan menegakkannya. Ketidakmampuan melaksanakan hukum, HAM,
dan demokrasi, sampai-sampai dunia internasional menyetop bantuannya, PBB
menyorotnya, negara-negara berpalinga dan membenci Negara dan bangsa kita. Hal
ini disebabkan oleh ketidaktahuan, kurang penghormatan, dan kurang mrmberi
jaminan kepada tegaknya hukum, HAM, dan demokrasi di Negara ini. OOleh karena
itu, semua lembaga harus secara bersama-sama berupaya melaksanakan dan
menegeakkan hukum, HAM, dan demokrasi, lebih-lebih kampus diharapkan menjadi
kekuatan moral (moral force) dalam mengembangkannya.
Kampus
adalah tempat orang-orang cendekia mengembangkan ilmu. Sementara hukum adalah
aturan yang disepakati oleh semua orang agar terjadi keteraturan hidup; HAM
adalah hak-hak bawaan kodrat yang dimiliki semua orang pada segala jaman, yang
tidak bersifat khusus dimiliki oleh orang-orang khusus, melainkan pemiliknya
tanpa perbedaan ras, agama, bangsa, kedudukan, atau jenis kelamin; dan
demokrasi adalah cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah-masalah
berkehidupan.
Menurut
Djahiri (1976), tujuan yang agung dan baik dari HAM perlu didukung oleh
beberapa persyaratan. Persayaratan itu antara lain:
a.
Karakter
manusia.
Karakter
manusia untuk memiliki kesadaran dan daya serap terhadap tujuan HAM sangat
diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan tegak-tidaknya penghargaan
serta pencapaian tujuan tersebut terjadi.
b.
Karakteristik
kesdaran jiwa manusia.
Dalam
hal ini karakteristik kesadaran jiwa manusia sangat dituntut dalam menunjang
tercapainya tujuan HAM.
c.
Intelektualitas
yang cukup memadai.
Semakin
tinggi intelektualitas seseorang serta semakin banyak pengetahuan yang mendalam
dan tinggi di bidang isi, hakikat, dan tujuan HAM, maka akan semakin tinggi usaha-usaha
dan derajat kepatuhan untuk mencapai cita-cita tujuan tegaknya HAM
Selain itu, faktor lain yang dapat
menunjang tegaknya HAM adalah stabilitas negara. Stabilitas negara maksudnya
adalah Negara, masyarakat, dan perangkat dalam keadaan stabil lahir dan batin,
tidak terjadi kekacauan di dalam negara itu sendiri, serta terjamin dari unsur
pengacau dari luar negara. Stabilitas yang dimaksud juga mencakupi stabilitas
di bidang politik, ekonomi, dan keamanan.
Inti HAM adalah
penghargaan dan pengakuan atas segala potensi manusia sesuai dengan kodrat
Illahi. Untuk menegakkannya diperlukan karakteristik kesadaran jiwa manusia,
intelektualitas, dan stabilitas negara.
Henry B. Mayo dalam Miriam (1975) menyebutkan nilai demokrasi seperti
berikut ini.
1.
Menyelesaikan
pertikaian secara damai dan sukarela,
2.
Menjamin
terjadinya perubahan secara damai suatu masyarakat yang selalu berubah,
3.
Pergantian
penguasa secara teratur,
4.
Penggunaan
paksaan sesedikit mungkin,
5.
Keanekaragaman,
6.
Menegakkan
keadilan,
7.
Memajukan
ilmu pengetahuan, san
8.
Kebebasan.
Di samping memiliki nilai-nilai, demokrasi juga
memiliki beberapa sudut pandang atau aspek dalam menetapkan keabsahan hukumnya.
Aspek-aspek itu sebagai berikut (Departemen Penerangan, 1977; Rachman, 1977)
1.
Aspek
wujudiyah atau aspek formal,
2.
Aspek
maknawiyah atau material,
3.
Aspek
kaidah atau aspek normatif,
4.
Aspek
tujuan atau aspek optatif, dan
5.
Aspek
jiwa atau semangat.
Berperan tidaknya kampus sebagai kekuatan moral dalam
pengembangan hukum dan HAM sangat tergantung kepada terbina atau tidaknya
demokrasi. Untuk itu, kesadaran yang tinggi, intelektualitas yang memadai, dan
stabilitas negara yang terjamin perlu ada. Bila demokrasi telah berjalan pada
habitatnya, kewajiban berikutnya ialah membina dan mengembangkannya sehingga
tingkat pemahaman dan penerapan HAM semakin tinggi. Caranya ialah dengan
menegakkan rule of law (Hartono,
1969), mengembangkan kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kesadaran
berdemokrasi masyarakat, dan para pemimpin masyarakat menjadi teladan yang
dapat diteladani.
Akhirnya disadari bahwa demokrasi adalah ide dan
mekanisme hidup yang mampu melayani pengetrapan HAM. Hal ini dapat ditelaah
dari ungkapan politik bahwa “dalam demokrasi setiap orang berpartisipasi,
diajak dan dihargai suara, kemauan, dan kemampuannya sehingga kekecewaan dapat
dihindarkan”.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Pancasila dalam kehidupan kampus dijadikan sebagai acuan atau pedoman
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan di lingkungan kampus. Adapun contoh bentuk
implementasi Pancasila dalam kehidupan kampus seperti kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, otonomi keilmuan, hingga peran mahasiswa di
masyarakat.
Selain itu, berperan atau tidaknya kampus sebagai
kekuatan moral dalam pengembangan hukum dan HAM sangat tergantung kepada
terbina atau tidaknya demokrasi. Untuk itu, kesadaran yang tinggi,
intelektualitas yang memadai, dan stabilitas negara yang terjamin perlu ada di
lingkungan mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
A.T.
Soegito, dkk. 2013. Pendidikan Pancasila.
Semarang: Pusat Pengembangan MKU-MKDK UNNES. Cetakan ke delapan.